Seuntai Senyuman Untuk Emak

Emak... yah begitulah aku dan kakak-kakakku memanggil seseorang yang sangat berarti yakni yang telah melahirkan kami. Beliau sendiri sebenarnya ingin dipanggil ibu (sebab jarang ada orang yang memanggil ibu dengan sebutan emak di daerah kota seperti ini), namun anak-anaknya yang lebih nyaman dengan panggilan emak, akhirnya beliau pun menjadi ikut nyaman juga dengan panggilan kesayangan kami ini, sejak kami kecil.

Sejak kecil aku jarang berada disamping emakku. Bapakku yang kerja sebagai petugas kebersihan yang waktu itu di beri tugas membersihkan beberapa wilayah RT sering kerja hingga larut malam, sedangkan emak yang banyak menghabiskan waktu di sawah. Sehingga emak sering menitipkanku ke tetangga sebelah yang kemudian aku panggil dengan sebutan ibu. Intinya saat aku masih kecil, aku jarang berkumpul dengan keluargaku.


Ya, rumah kami yang dulu, bukanlah hak milik kami, rumah lama itu berdiri diatas tanah milik PT.KAI dan itu rumah bapak dirikan dari kayu sisa-sisa bongkaran yang sudah tidak dipakai lagi sehingga mudah sekali lapuk dan sering ditambal. Hingga suatu saat, berbekal tabungan emak dan hasil menjual tanah sawah, emak membeli tanah dan sisanya untuk membangun rumah yang sesederhana mungkin.

Alhamdulillah, kami pun akhirnya punya rumah sendiri. Namun, setelah seminggu kami pindah rumah, emak langsung jatuh sakit dan harus di rawat di rumah sakit selama 6 bulan. Ternyata selama ini emak sangat berjuang keras demi bisa memiliki tempat tinggal untuk kami, emak sama sekali tak pernah mengeluh berapa pun uang yang diberi bapak. Beliau selalu berusaha memutar otak untuk tetap bisa menyekolahkan 3anaknya dan tetap bisa menjalankan kehidupan.

Tepat di saat aku 17 tahun, yang mungkin bagi remaja lain merayakan kebahagiaan dengan keluarganya, aku melewatinya di rumah sakit. Ada suatu kejadian yang hingga saat ini tak bisa aku lupakan. Hari itu pasien sebelahnya emak meninggal dunia, sehingga aku diminta perawat untuk keluar dulu, kebetulan emak juga sedang tidur.

Tepat disampingku, ada 2 anak dari pasien yang meninggal tadi. Mereka masih kecil sehingga tak mengerti jika ibu mereka telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Kuingat salah seorang mereka yang masih belum jelas lafalnya berkata "Yah, aku pengen ibu cepet sembuh, dirumah lagi, nganterin aku sekolah lagi terus mainan sama aku lagi", yang satunya menyahut, "Gak boleh, pokoknya ibu nanti harus sama aku!" ledek kakak. Mereka berlari mengitari ayahnya.

 "Ibu pergi keatas sana sayang, nanti adek sama kakak, mainnya sama ayah dulu ya" ucap sang ayah. "Loh kok ibu ke atas yah? emang diatas ada apa?" tanyanya tak mengerti. "Semua orang pasti nanti akan kesana, tapi sekarang yang dipanggil keatas ibu dulu." Terang sang ayah. "Ooh, gitu ya yah, iya deh... tapi ibu gak bakal lupain adek kan yah?" Tanyanya lagi. "Ndak, sayang, ibu tetep sayang kalian, cuma pindah tempat aja kok" kedua anak tadi tersenyum. Ratapan sang ayah akhirnya menjadi senyuman mungkin karena melihat kedua malaikat kecilnya tadi.

Aku berjalan tengah jembatan. Ku rasakan angin sepoi-sepoi menerpa tubuhku. Ku hadapkan tubuhku ke sebuah gedung yang sedari tadi terdengar suara tangisan bayi, dan ternyata itu adalah ruang melahirkan. Setelah itu aku berbalik arah dan ku lempar pandangan ke sebuah gedung yang nampak redup dan dingin, dan ternyata itu adalah kamar mayat.

Sungguh suatu kejadian yang tak dapat aku lupakan. Mungkin aku diingatkan oleh Tuhan, disaat usiaku yang beranjak dewasa itu, aku harus berbuat lebih baik dari sebelumnya. Lahir, hidup , mati. Siklus kehidupan terus berjalan dan waktu tak akan mungkin bisa kita putar kembali. Entah mengapa air mata tiba-tiba membasahi pipiku.

Tak lama kemudian, adzan magrib membuyarkan lamunanku, dan ternyata emak berada tepat dibelakangku. Kala itu emak bilang "dek, selamat ulang tahun yang ke-17 ya, maaf emak gak bisa kasih apa-apa", ku peluk tubuh emak dan aku cuma bisa bilang, "aku sayang emak, aku pengen emak sembuh dan aku pengen kasih yang terbaik buat emak"


Komentar

back to top